PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seni musik (instrumental art) adalah bidang
seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat
musik tersebut. Bidang ini membahas cara menggunakan instrument musik, misalnya
musik vocal dan musik instrumentalia. Abdurrahman Al Bagdadi dalam
ensiklopedi Indoesia mengatakan bahwa devinisi seni yaitu penjelmaan rasa
indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantara alat
komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indra pendengaran (seni
suara), penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantara gerak (seni
tari, drama).
Istilah teror dan terorisme berasal dari barat bukan berasal dari Islam
seperti yang sering ditujukan kepada Islam. Namun kenyataannya kalangan Barat sendiri
tidak satu mufakat untuk mendefinisikan terminology tersebut. Kata “terror”
berasal dari bahasa Inggris terror,
yang berarti usaha yang menimbulkan ketakutan, kengerian pada seseorang atau
kelompok yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Menurut Edward S Harman, guru besar ilmu keuangan Universitas Pennsylvania,
terror adalah sebuah cara memerintah atau menentang pemerintah dengan
menggunakan intimidasi. Dari berbagai
pengertian di atas dapat dikatakan bahwa
semua bentuk intimidasi yang menimbulkan ketakutan,siapapun pelakunya,
bisa dikatakan terorisme.
Menurut
bahasa, kata gender diartikan sebagai “the grouping of words into masculine,
feminine, and neuter, according as they are regarded as male, female or without
sex” yang artinya gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin,
feminin, atau tanpa keduanya (netral). Dapat dipahami bahwa gender adalah
perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan. Konsep gender
sendiri harus dibedakan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin).
Perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan
karena secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis.
Sedangkan gender adalah perbedaaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan
yang secara sosial dibentuk.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian seni musik?
2.
Adakah Dalil-dalil yang
mengharamkan dan menghalangkan nyanyian?
3.
Apa hukum mendengarkan
nyanyian?
4.
Apa hukum memainkan alat
musik?
5.
Apa pengertian terorisme?
6.
Bagaimana pandangan Islan
tentang terorisme?
7.
Adakah solusi terorisme
menurut pandangan Islam?
8.
Apa pengertian gender?
9.
Bagaimana kesetaraan gender
dalam Al-Qur’an?
C.
Tujuan
Penulis
1.
Agar kita dapat mengetahui
apa itu seni music, terorisme serta gender
2.
Untuk mengetahui apa hukum
mendengarkan nyanyian dan memainkan alat musik
3.
Untuk mengetahui pandangan
dan solusi terorisme dalam Islam
4.
Untuk
Memberi pengertian bahwamembahas masalah gender bukanlah masalah perempuan
menghadapi laki-laki melainkan
masalah masalah gender adalah permasalahan masyarakat bersama
PEMBAHASAN
A.
Islam dan
Musik
1.
Pengertian
Seni Musik
Seni musik (instrumental art) adalah bidang seni
yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat musik
tersebut. Bidang ini membahas cara menggunakan instrument musik, misalnya musik
vocal dan musik instrumentalia.
Seni musik dapat disatukan dengan seni instrumental
atau seni vocal. Seni instrumentalia adalah seni suara yang dipendengarkan
melalui media alat-alat musik, sedangkan seni vocal adalah melagukan syair yang
hanya dinyanyikan dengan perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrument
musik.[1]
2.
Dalil-Dalil Yang Mengharamkan
Nyanyian:
a.
Berdasarkan firman Allah:
وَمِنَ
النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ
عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
“Dan di antara
manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal
hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang
menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6)
b.
Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra
bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya
akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan
alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR.
Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].
c.
Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw
bersabda:
“Sesungguhnya
Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah)
dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian
beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu
Mardawaih].
d.
Hadits dari Ibnu Mas’ud ra,
Rasulullah Saw bersabda:
“Nyanyian itu
bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR.
Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].
e.
Hadits dari Abu Umamah ra,
Rasulullah Saw bersabda:
“Orang yang
bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua
pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.”
[HR. Ibnu Abid Dunya.].
f.
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya
aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian
yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2.
Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan
merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).”[2]
3.
Dalil-Dalil Yang Menghalalkan
Nyanyian:
a. Firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُحَرِّمُواْ طَيِّبَاتِ
مَا أَحَلَّ اللّهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]:
87).
b. Hadits dari Nafi’ ra, katanya:
Aku berjalan
bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling,
maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai
Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian
dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah
Saw.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].
c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw
mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu
denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan
mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar.
Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata: “Di antara kita ada Nabi
Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw
bersabda:
“Tinggalkan
omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR.
Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari
Aisyah ra].
d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda
Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:
“Mengapa tidak
kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.” [HR.
Bukhari].
e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan
sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata
tidak setuju. Lalu Hasan berkata:
“Aku pernah
bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu
Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].[3]
4. Hukum
Mendengarkan Nyanyian
a.
Hukum Mendengarkan
Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan
nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni
bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina’). Hukum
melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl (perbuatan) yang hukum
asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm
asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl
jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah
perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia,
seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan,
minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya.
Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan
jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja
boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara
manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan.
Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun
mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh
mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “Saya akan
membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar
perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita
berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita
diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian
adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan
jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu
mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan
amar ma’ruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:
“Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah
kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah
dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan
tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman.” [HR. Imam
Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu
Majah].[4]
5. Hukum
Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’
al-Ghina’)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama’
al-ghina’). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif
(istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar
(as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar
nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada
interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’
li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya
berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada
dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang
penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa
Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’
al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri
nyanyian (istima’ al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian
serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan
atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’
al-ghina’) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang
melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan
kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Syaikh
Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas,
hal. 104). Allah SWT berfirman[5]:
فَلاَ
تَقْعُدُواْ مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ
“Maka
janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang
lainnya.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 140).
6. Hukum
Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana,
dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat
musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff
atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi Saw:
“Umumkanlah
pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).”
[HR. Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir al-Jazairi,
Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram),
hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara,
Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24).
Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka
ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Imam
Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, hal. 59
mengatakan:
“Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang
sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan
memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh
secara mutlak.” (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni
Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah.[6]
Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka
pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang
mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.[7]
B.
Islam dan Terorisme
1.
Pengertian Terorisme
Terorisme, dalam bahasa Arab, identik dengan kata al-irhab,
mashdar yang merupakan musytaq (pecahan kata) dari fi’il (kata kerja) arhaba.
Maknanya adalah menciptakan ketakutan (akhafa) atau membuat
kengerian/kegentaran (fazza’a). jadi, terorisme adalah serangan-serangan
terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan terror terhadap sekelompok
masyarakat.
2.
Terorisme Menurut Hukum Islam
Untuk mengetahui secara mendalam makna terorisme berdasarkan
sudut pandang hukum fiqih Islam dan hak asasi Islam, perlu bagi kita untuk
merujuk pada beberapa elemen paling penting atau prinsip keamanan umum
berkenaan dengan terorisme dalam fiqih dan hak asasi Islam. Beberapa prinsip
keamanan umum dan hak asasi yang berkaitan dengan terorisme menurut sudut
pandang Islam adalah sebagai berikut :
a. Allah Swt,
berfirman dalam surat Al-Maidah Ayat 32
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ
مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ
النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ
جَاء تْهُمْ رُسُلُنَا بِالبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِّنْهُم بَعْدَ ذَلِكَ
فِي الأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
Artinya :”Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu
hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu (membunuh) orang lain[8], atau bukan
karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh
manusia seluruhnya[9]. dan Barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada
mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas,
kemudian banyak diantara mereka sesudah itu[10]sungguh-sungguh
melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi”
b.
Allah Swt, berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 205
وَإِذَا
تَوَلَّى سَعَى فِي الأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيِهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ
وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ الفَسَادَ
Artinya : Dan apabila ia
berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan kerusakan padanya,
dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai
kebinasaan
3. Solusi Terorisme Menurut Pandangan Islam
Sesungguhnya
solusi atau penyembuhan terhadap penyakit ini bahkan untuk membentengi diri
darinya adalah nasehat Islam yang lurus yang tiada melakukan dengan baik akan
nasehat itu kecuali ulama Salaf Ar-Rabbani yang mana mereka telah menyampaikan nasehat
dan bimbingannyan kepada manusia dan memperingatkan serta menunjuki mereka
kepada jalannya para nabi dan rasul yang mulia, yang Allah telah utusan mereka
sebagai penyeru dan pengajar kebaikan bagi manusia. Jalan itu adalah wahyu
ilahi yang dengannya tersucikan hati dari penyakit-penyakitnya dan tenanglah
jiwa dari kebingungannya dan kegoncangan, kecuali orang yang memang dikuasai
oleh nafsu angkara murkadan telah ditetapkan di dalam Lauhul Mahfudz sebagai
orang yang sesat. Sesungguhnya hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala.
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي
مَن يَشَاء وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya : “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang
mau menerima petunjuk”.
Dan
kapanpun peringatan dan buku-buku tidak membawa manfaat maka Allah akan
menjadikan pedang kebenaran yang bermanfaat bagi orangnya yang telah Allah
letakkan di tangan penguasa muslim di muka bumi ini, sebagaimana terdapat dalam
riwayat hadits yang panjang diantaranya sabda Rasulullah SAW.
Yang
artinya : Hendaklah kamu ambil di atas tangan orang yang jelek dan hendaklah
kamu berdiam diatas al-haq dengan sebenar-benarnya, atau Allah akan palingkan
hati sebagian kalian atas sebagian yang lain atau sungguh akan melaknat kalian
sebagaimana mereka telah dilaknat.
Ringkas
pembicaraan wahai orang-orang yang mencintai kebaikan untuk orang lain
bahwasanya solusi satu-satunya untuk penyakit terorisme dinegara-negara Islam
barada di tangan orang-orang yang mempunyai aqidah shhihah yang bersih yang
murni dibawah nauangan wahyu ilahi yang dibawa dan disampaikan oleh orang yang
mau memahami maknanya yang baik penyampaiannya, dan sungguh para dokter mereka
itu adalah waliyul amri dari kalangan ulama rabbani dan para pemimpin shalih
kemudian masyarakat dengan segala lapisannya, kecil atau besar dalam dan luar
yang tersifati dengan sifat yang disebutkan terdahulu. Firman Allah Ta’ala:
مَن يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي
وَمَن يُضْلِلْ فَلَن تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُّرْشِدًا
Artinya
: “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka Dialah yang mendapat
petunjuk; dan Barangsiapa yang disesatkan-Nya, Maka kamu tidak akan mendapatkan
seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya”
Adapun solusi terorisme di
negeri kafir, maka pijakannya kepada apa yang mereka ridhai untuk diri mereka
sendiri yaitu undang-undang dasar (negeri tersebut) jika diwujudkan sesuatu
untuk menolak kemudharatan maka haruslah ia mempunyai kekurangan, terutama
akan bertambah parahnya penyakit terorisme di negeri mereka serta semakin
meluas dan saling mewarisinya dengan terang-terangan karena mereka tidak
percaya akan kebesaran Allah, dan Dia yang telah meciptakan mereka dalam
beberapa tingkat kejadian. Merupakan perkara yang amat sangat disayangkan bahwa
mayoritas negeri Islam telah mengikuti jejak negeri-negeri kafir dalam
penegakan hukum undang-undang dasarnya yaitu dalam menyelesaikan berbagai macam
problematikanya, yanng tidak diperkenankan untuk berhukum dengan undang- undang
dasar (yang dibuat oleh manusia), bahkan wajib menggunakan hukum syari’at Allah
yang sempurna lagi suci ini. Dikarenakan negeri-negeri ini Islam ber-intimaa
(menyandarkan dirinya) kepada Islam yang berbangga diri dengannya hanya dalam
syiar-syiarnya, akan tetapi kenyataan dari pelaksanaan hukum-hukumnya dalam
menyelesaikan berbagai problem meniru dan mengadopsi dari orang-orang kafir. [11]
C.
Islam dan Gender
1. Pengertian Gender
Gender
artinya suatu konsep, rancangan atau nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan fungsi serta peran
perempuan dan laki-laki dikarenakan perbedaan biologis atau kodrat, yang oleh
masyarakat kemudian dibakukan menjadi ’budaya’ dan seakan tidak lagi bisa ditawar, ini yang tepat bagi
laki-laki dan itu yang
tepat bagi perempuan. Jadi, kesetaraan gender adalah suatu keadaan di mana
perempuan dan laki-laki samasama menikmati status, kondisi, atau kedudukan yang setara, sehingga terwujud
secara
enuh hak-hak an potensinya bagi pembangunan di
segala aspek kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara. Islam mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan, baik sesama
umat manusia maupun dengan lingkungan alamnya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih
dari sekedar mengatur keadilan gender dalam masyrakat, tetapi secara teologis dan
teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia), makrosrosmos (alam), dan Tuhan. Hanya
dengan demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan hanya khalifah sukses yang
dapat mencapai derajat
abadi sesungguhnya. Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang
mengacu kepada ayat-ayat (al-Qur’an) substantif yang sekaligus menjadi tujuan
umum syari’ah (maqashid al-syariah), antara lain: mewujudkan keadilan dan kebajikan[12] (Q.S. an-Nahl [16]: 90):
إِنَّ
اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ
الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya
: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran”.
2.
Kesetaraan Gender Dalam Al Qur’an
Di dalam ayat-ayat Alqur’an maupun sunnah nabi
yang merupakan sumber utama ajaran islam, terkandung nilai-nilai universal yang
menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia dulu, kini dan akan datang. Nilai-nilai
tersebut antara lain nilai kemanusiaan, keadilan, kemerdekaan, kesetaraan dan sebagainya.
Berikut ini beberapa hal yang perlu diketahui mengenai kesetaraan Gender dalam Al-quran.
a.
Apa yang Dimaksud dengan Istilah "Gender"?
Gender
adalah pandangan atau keyakinan yang dibentuk masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan atau laki-laki
bertingkah laku maupun berpikir. Misalnya Pandangan bahwa seorang perempuan ideal harus
pandai memasak, pandai merawat diri, lemah-lembut, atau keyakinan bahwa perempuan adalah mahluk yang sensitif,
emosional, selalu
memakai perasaan. Sebaliknya seorang laki-laki sering dilukiskan berjiwa pemimpin, pelindung, kepala rumah-tangga,
rasional, tegas dan sebagainya. Singkatnya, gender adalah jenis kelamin sosial yang dibuat masyarakat, yang
belum tentu benar.
Berbeda dengan Seks yang merupakan jenis kelamin biologis ciptaan Tuhan, seperti
perempuan memiliki vagina, payudara, rahim, bisa melahirkan dan menyusui sementara
laki-laki memiliki jakun, penis, dan sperma, yang sudah ada sejak dahulu kala.[13]
b. Apakah Al-quran mengatur tentang kesetaraan
Gender?
Ya, dalam alquran surat Al-Isra ayat 70 yang
berbunyi ( ditulis alqurannya dalam buku perempuan sebagai kepala rumah tangga hal 41) Bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk
yang terbaik dengan kedudukan yang paling terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan memiliki akal,
perasaan dan
menerima petunjuk. Oleh karena itu Al-quran tidak mengenal pembedaan antara lelaki
dan perempuan karena dihadapan Allah SWT, lelaki dan perempuan mempunyai derajat
dan kedudukan yang sama, dan yang membedakan antara lelaki dan perempuan hanyalah
dari segi biologisnya. Adapun dalil-dalil dalam Al-quran yang mengatur
tentang kesetaraan gender adalah:
1)
Tentang hakikat penciptaan lelaki dan perempuan
Surat Ar-rum ayat 21, surat An-nisa ayat 1, surat
Hujurat ayat 13 yang pada intinya berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu lelaki dan perempuan, supaya mereka hidup
tenang dan tentram, agar saling mencintai dan menyayangi serta kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar
banyak laki-laki dan perempuan
serta agar mereka saling mengenal. Ayat -ayat diatas menunjukkan adanya hubungan yang saling timbal
balik antara lelaki dan perempuan,
dan tidak ada satupun yang mengindikasikan adanya superioritas satu jenis atas jenis lainnya.
2) Tentang kedudukan dan kesetaraan antara lelaki dan
perempuan
Surat Ali-Imran ayat 195, surat An-nisa ayat 124,
surat An-nahl ayat 97, surat Ataubah ayat 71-72, surat Al-ahzab ayat 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwa Allah SWT secara khusus menunjuk baik kepada
perempuan maupun lelaki untuk menegakkan nilai-nilai islam dengan beriman, bertaqwa dan beramal. Allah
SWT juga memberikan peran
dan tanggung jawab yang sama antara lelaki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan
spiritualnya. Dan Allah pun memberikan sanksi yang sama terhadap perempuan dan lelaki untuk semua kesalahan yang dilakukannya. Jadi pada intinya
kedudukan dan derajat antara lelaki dan perempuan dimata Allah SWT adalah sama,
dan yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.[14]
3)
Apa Saja Prinsip Kesetaraan
Gender dalam Al-Qur’an?
Menurut D.R. Nasaruddin Umar dalam "Jurnal
Pemikiran Islam tentang Pemberdayaan Perempuan" (2000) ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa
prinsip-prinsip kesetaraan
gender ada di dalam Qur’an, yakni:
(a)
Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Sebagai Hamba
Menurut Q.S. al-Zariyat (51:56), (ditulis
alqurannya dalam buku argumen kesetaraan gender hal 248) Dalam kapasitas sebagai hamba tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan
peluang yang sama
untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Qur’an biasa diistilahkan sebagai
orang-orang yang bertaqwa (mutaqqun), dan untuk mencapai derajat mutaqqun
ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok
etnis tertentu, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Hujurat (49:13)
(b)
Perempuan dan Laki-laki sebagai Khalifah di Bumi
Kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi (khalifah
fi al’ard) ditegaskan dalam Q.S. al-An’am(6:165), dan dalam Q.S. al-Baqarah
(2:30) Dalam kedua ayat tersebut, kata ‘khalifah" tidak menunjuk pada
salah satu jenis kelamin tertentu, artinya, baik perempuan maupun laki-laki
mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan
tugas-tugas kekhalifahannya di bumi.
(c)
Perempuan dan Laki-laki Menerima Perjanjian Awal dengan Tuhan
Perempuan dan laki-laki sama-sama mengemban amanah
dan menerima perjanjian awal dengan Tuhan, seperti dalam Q.S. al A’raf (7:172)
yakni ikrar akan keberadaan Tuhan yang disaksikan oleh para malaikat. Sejak
awal sejarah manusia
dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan
yang sama. Qur’an juga menegaskan
bahwa Allah memuliakan seluruh anak cucu Adam tanpa pembedaann jenis kelamin. (Q.S. al-Isra’/17:70)[15]
(d)
Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Berpotensi Meraih Prestasi
Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada
pembedaan antara perempuan dan laki-laki ditegaskan secara khusus dalam 3
(tiga) ayat, yakni: Q.S. Ali Imran /3:195; Q.S.an-Nisa/4:124;
Q.S.an-Nahl/16:97. Ketiganya mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan memberikan
ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun karier profesional, tidak
mesti didominasi oleh satu
jenis kelamin saja[16]
DAFTAR PUSTAKA
Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari
Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta : Penerbit Widjaya)
Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam bi
Anna Al-‘Azif wa Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I.
(Jakarta : Wala` Press).
http//TERORISME%20DALAM%20PANDANGAN%20ISLAM.htm
[1] Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni
Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta : Penerbit
Widjaya).
[4] Al-Jazairi,
Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam bi Anna Al-‘Azif wa
Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta : Wala`
Press).
[6] Mubah merupakan tuntutan yang bersifat fakultatif. Artinya, tuntutan ini
boleh dikerjakan atau tidak dikerjakan sama sekali
[9]
Hukum ini bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai manusia
seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu adalah sebagai
membunuh manusia seluruhnya, karena orang seorang itu adalah anggota masyarakat
dan karena membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya.